Sabtu, 16 Juli 2016

Bangga Menjadi Anak Petani


Oleh. Rozz Imperata

Cahaya di ufuk timur mulai terlihat terang, menggeser gelap malam, menandakan pagi hari telah datang. Setelah sholat subuh biasanya Ilalang olahraga kecil-kecilan mengelilingi desa, kadang membelikan sarapan untuk kedua keponakannya (kembar), dan sesekali ia melanjutkan tidurnya yang belum tuntas. Beginilah Ilalang menghabiskan pagi harinya saat ia berada di kampung halaman. Sejenak berlibur dari kepenatan tugas-tugas mata kuliah yang dihadapinya sewaktu hari aktif kuliah.
Pagi hari tak begitu berat bagi Ilalang. Namun, tidak bagi laki-laki paruh baya yang di pagi harinya harus bergegas pergi ke sawah sebagai seorang petani desa. Petani itu bernaung di rumah yang lokasinya bersebelahan dengan rumah tempat Ilalang tinggal bersama kakaknya. Petani desa tersebut merupakan ayah dari Ilalang. Walau mereka bapak dan anak, namun mereka tak satu atap.
Biasanya pak tani itu pergi ke sawah seorang diri, melakukan segala aktifitas tanpa bantuan siapapun. Namun pagi itu ia mengajak Ilalang untuk ikut dengannya ke sawah yang jaraknya lumayan jauh dari desa. Sawah yang letaknya di tengah rawa-rawa tersebut mengharuskan Ilalang dan ayahnya menaiki perahi kecil untuk sampai di sana. Kata ayahnya, ia butuh bantuan Ilalang untuk menutup galengan (dinding petak sawah) yang dijebol seseorang yang tidak bertanggung jawab. Galengan di sawah ini beda dengan sawah-sawah lainnya, letaknya yang di tengah rawa-rawa membuat dinding petak sawah tersebut haruslah tinggi untuk menghalangi genangan air.
Sesampainya di sana, Ilalang dan ayahnya menggali tanah dengan cangkul yang kondisinya sudah sedikit rusak, sehingga butuh tenaga lebih untuk menggunakannya. Tanah dari galian tersebut dimasukkan ke dalam karung bekas wadah pupuk hingga penuh, kemudian ditutuplah lubang itu dengan karung yang berisikan tanah. Dibutuhkan ekstra hati-hati untuk mengangkat karung-karung yang berisikan tanah itu, selain karena berat, medan di sawah itu juga sangat sulit. Sedikit saja luput dari kehati-hatian maka kaki akan terkena keong yang bercangkang tajam, hingga tergelincir jatuh ke kali (sungai).
Beberapa jam berlalu, matahari hampir lurus di atas kepala, keringat bercucuran membasahi baju yang kotor terkena tanah liat. Akhirnya, galengan telah ditutup dengan rapat sehingga air tak mampu menembus sela-sela tanah tersebut. Sungguh pekerjaan yang tidak mudah dan capeknya bukan main. Ilalang dan ayahnya kemudian duduk di bawah pepohonan yang rindang untuk istirahat sejenak dengan meminum seteguk air dan meluruskan kedua kaki.
Ilalang melihat wajah ayahnya yang begitu lelah, perasaan iba dan takjub bercampur jadi satu merasuki pikirannya, ia pun merenung. Ia iba kepada ayahnya karena kerasnya kerja yang harus dijalaninya di usia tua. Apalagi jika Ilalang sudah waktunya aktif kuliah, maka tak ada lagi yang membantu ayahnya di sawah. Adapun ketika Ilalang di rumah, jarang-jarang ayahnya mengajak ia ke sawah, mungkin karena tak ingin Ilalang lelah.
Di sisi lain Ilalang sangat takjub dan bangga kepada ayahnya. Walau jari-jari kaki ayah Ilalang tak lagi utuh karena terkena cangkul dan keong, hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk tetap semangat bertani. Kalian tahu, siapa saja yang merasakan hasil kerja keras ayah Ilalang? Bukan hanya Ilalang sekeluarga. Banyak sekali orang di luar sana yang tidak mengenal ayah Ilalang, namun merasakan hasil kerja kerasnya. Apa itu? Butiran beras yang dapat mengenyangkan perut-perut orang di luar sana, ribuan bahkan mungkin jutaan, dan mungkin diantaranya adalah kalian.
Dalam suasana hening pundak Ilalang ditepuk ayahnya seraya berkata, “Nak, ayo pulang!! Jangan melamun saja”. Ilalang dan ayahnya kembali menaiki perahu kecil menuju rumah untuk melanjutkan aktifitas yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar